Komponen Fungsional
ARTIKEL TENTANG SENI
Komponen fungsional dari sebuah teori adalah konsep utama dan definisinya.Konsep ini merupakan fokus teori atau model. Pada tahun 1970-an profesi keperawatan secara umum menyepakati bahwa terdapat empat konsep utama yang dibahas dalam model keperawatan: klien, sifat keperawatan (peran/fungsi), makna kesehatan, dan lingkungan yang menjadi tempat terjadinya interaksi perawat-klien. Namun, masing-masing perawat ahli teori ini menawarkan perspektif yang unik dari konsep tersebut dalam modelnya yang didasarkan pada asumsi dan keyakinannya tentang manusia, kesehatan, keperawatan, dan lingkungan.
Perawat yang menggunakan model ini harus memahami benar cara-cara unik saat masing-masing teori mendefinisikan konsep ini dan menguraikan interelasinya.Mereka yang memilih praktik keperawatan berdasar teori harus mengetahui pandangan Para ahli teori terhadap setiap pertanyaan berikut ini sebelum menerapkan model keperawatan mereka.
1. Siapakah kliennya?
Klien adalah penerima asuhan keperawatan dan dapat didefinisikan sebagai individu, keluarga, komunitas, atau kelompok yang lebih besar.Ahli teori mungkin mendefinisikan klien sebagai seseorang yang memiliki kebutuhan, status kesehatannya terganggu, kurang perawatan diri, adaptif yang mampu berubah, atau seseorang yang mengalami ketidakselarasan.Beberapa ahli teori mengidentifikasi individu yang memiliki masalah kesehatan raja yang disebut sebagai klien, sedangkan ahli teori lainnya memandang individu atau keluarga sebagai penerima asuhan dalam cakupan keperawatan.
2. Apa sifat keperawatan-peran perawat?
Model keperawatan secara umum menguraikan keperawatan sebagai disiplin yang menolong yang mungkin melibatkan tindakan kognitif, tugas perilaku, atau hubungan interpersonal antara klien dan perawat. Perawat dapat bertindak atas nama klien, bekerja sama dengan klien, atau dapat mengajarkan klien cara melakukan aktivitas tertentu. Satu model keperawatan mendefinisikan peran perawat sebagai agen perawatan diri; model yang lainnya memandang perawat sebagai pengurang stresor klien, meningkatkan adaptasi, atau memfasilitasi keselarasan antara klien dan lingkungannya.Peran perawat dalam setiap model harus dipahami dengan jelas oleh mereka yang mencrapkan model tersebut.
3. Apa makna kesehatan?
Beberapa ahli teori menguraikan kontinuum sehat-sakit, sementara yang lainnya hanya mengacu pada sehat-sakit atau adanya masalah kesehatan.Baru-baru ini beberapa ahli teori telah menguraikan kesehatan sebagai keadaan lebih dari sekedar tidak adanya penyakit. Mereka memandang kesehatan sebagai proses dinamik yang berubahubah sepanjang waktu dan beragam sesuai dengan keadaannya. Ahli teori lainnya memandang kesehatan bersifat interdependen dengan lingkungan yang terus berubah atau sebagai proses yang harus dikendalikan oleh seseorang. Perawat harus memahami pandangan para ahli teori tentang kesehatan dan menentukan apakah sudut pandang tersebut sesuai dengan pandangan mereka sendiri terhadap kesehatan.
4. Di manakah interaksi perawat-klien terjadi?
Lingkup seperti apa atau lingkungan seperti apa yang dianggap sesuai untuk keperawatan? Lingkungan dapat didefinisikan sebagai arena sentral dari keperawatan atau area persimpangan dengan klien dalam lingkup kesehatan.Beberapa ahli teori membatasi cakupan praktik keperawatan menjadi lingkungan rumah sakit dan/atau klinik rawat jalan, sedangkan ahli teori lainnya mencakupkan konsep komunitas dan di beberapa tempat tidak ada batasan tentang konsep ini.
http//www.requestartikel.com.htm
8-Mei-2011
ARTIKEL TENTANG ESTETIKA
ika ada yang mengatakan bahwa berkorban itu tidak mengenal bulan atau tahun, itu memang benar. Bahkan pengorbanan tidak mengenal hari.“Balon” pengorbanan semestinya “dipompa” setiap waktu. Akan tetapi, setiap kali Idul-adha di ambang pintu, seorang muslim akan teringat tentang kisah yang sangat bersejarah, sehingga diabadikan dalam Al-Qur’an, yaitu cerita Nabi Ibrahim yang mau menyembelih anaknya, Nabi Ismail, sebagai korban. Peristiwa ini memang sangat mengesankan jika direnungkan secara seksama.Betapa seorang bapak rela melepas sesuatu yang paling mahal dalam hayatnya demi memenuhi sebuah seruan.
1. Motif-motif Sikap Ibrahim
Jika diamati, pengorbanan Nabi Ibrahim (khalilullah) itu, memang benar melampaui standar kemampuan manusia biasa. Tak seorang pun, agaknya, yang rela mengorbankan “buah hati”nya demi kepentingan apa pun. Justru itu, pertanyaan yang pertama kali menikam dalam benak kita ialah: motif apa sebenarnya yang membentuk sikap Ibrahim sampai mampu berbuat di luar batas pengorbanan insan yang normal? Ada dua hal yang sangat menentukan dalam hubungan ini, yaitu:
1.cara pandang Nabi Ibrahim terhadap dunia dan benda-bendanya, serta
2.bobot Allah SWT dalam visi Ibrahim.
Kedua faktor ini secara bersama membentuk pola pikir dan sikap Ibrahim, sehingga melahirkan pengorbanan yang sama kita kenal. Seseorang yang memandang benda atau materi yang dimilikinya dengan visi “pembesaran” maka cenderung bersikap sayang dan cinta yang berlebihan pada benda atau hak miliknya. Apalagi kalau proses mendapatkannya menempuh kerja keras, kegigihan, dan kurang istirahat, maka sense of belonging-nya semakin mengental. Harta itu pun dijaga dan sedapat mungkin dihindarkan dari proses penyusutan dan pengurangan. Akibatnya, merebaklah virus bakhil dan cinta materi yang sangat membahayakan bagi butir-butir iman.
Visi “pembesaran” ini secara umum dimiliki oleh makhluk manusia seperti yang tergambar dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 14. Hanya saja setiap orang mungkin berbeda intensitasnya.Semakin besar skala “pembesaran” itu, semakin menjamur pula jumlah “virus-virus” bakhil.
Hanya golongan mukmin saja yang memiliki visi lain. Kalangan ini memandang dunia berikut benda-bendanya dengan visi “penyederhanaan”.Justru itu, dalam kehidupan, golongan ini terlihat agak aneh dari orang-orang awam.Mereka tidak segan-segan mengorbankan sesuatu yang mahal dalam hidupnya, sekalipun itu nyawa, untuk kepentingan Allah dan menegakkan agamanya. Bahkan mereka yang terhimpun dalam kelompok ini berkompetisi satu sama lain dalam menyumbangkan apa yang paling berharga bagi diri dan keluarganya. Bagi yang memiliki harta, apapun jenisnya, betapapun mahalnya, secara spontan mendermakannya ke jalan Allah.
Dapat kita baca misalnya, keteladanan Abu Bakar ketika menyumbang tiga ratus ekor unta (atau sekitar enam ratus sapi), –nota bene: itu adalah keseluruhan harta yang dimilikinya— ketika Islam membutuhkan dana untuk keperluan perang. Demikian pula sikap Umar yang menyumbang separuhnya. Pengorbanan seperti ini mungkin sulit dibayangkan oleh orang “awam” (mereka yang tergabung pada visi “pembesaran”), tetapi itu suatu hal yang natural bagi kelompok visi “penyederhanaan”.
Demikian pula sikap yang ditampilkan oleh Hanzhalah, seorang sahabat Nabi saw. yang lebih dikenal dengan gelar ghasilul malaikah (orang yang dimandikan oleh malikat). Sahabat yang satu ini belum sempat mandi junub pada malam pengantin barunya. Ia langsung melompat keluar rumahnya begitu mendengar seruan jihad dari Rasul saw.. Untungnya, pria yang tampan itu gugur di medan tempur sebagai syahid, gelar yang sangat didamba-dambakannya. Jadi, manisnya berbulan madu (honey moon) terasa enteng dan sepele bagi orang-orang yang telah ditempa dengan visi “pengecilan” tadi. Masih cukup banyak contoh-contoh yang dicatat oleh sejarah dari mereka yang siap mengorbankan apa saja demi kepentingan yang lebih mulia.
Pertimbangan kedua ialah posisi Allah di mata Ibrahim.Ia bersedia menyembelih putera kesayangannya, berani melakukan hal itu, karena dasar pertimbangan kedua ini. Bagi Ibrahim, kepentingan Allah berada diatas segenap kepentingan. Bahkan seluruh kepentingan yang ada akan gugur bila berhadapan dengan kepentingan Allah. Kecintaan kepada anak memang suatu kepentingan, namun kecintaan kepada instruksi Allah berada pada puncak seluruh kepentingan.Barangkali ketegaran sikap ini muncul dari penghayatan terhadap mutiara kalam Allah, “Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi diri kepada-Ku.” (QS adz-Dzaariyaat: 56)
Dari sini kita dapat mengatakan bahwa keseluruhan sikap dan perilaku yang tergolong “aneh” dan luar biasa, agaknya dimotivisir oleh pertimbangan kedua ini.
2. Evaluasi Pengorbanan Muslim Sekarang Ini
Sebenarnya bila kita membaca ajaran Islam, khusus yang menyangkut semangat tadlhiyah (berkorban) dan penerapannya di masa lampau, kemudian kita amati realita umat Islam sekarang ini dan semangat pengorbanannya, agak sulit kita temukan benang penghubung antara kedua kenyataan Mi. Apa yang kita saksikan pada sikap muslim sekarang ini seolah-olah tidak ada hubungannya dengan sejarah indah masa lalu itu.
Berbagai hal aneh dan di luar perkiraan dapat kita lihat di sekitar kita. Di sana ada masjid atau langgar yang terbengkalai pembangunannya. Ada bangunan pendidikan Islam yang ter-kendala.Ada anak-anak di pinggir jalan mengulurkan kaleng untuk pembangunan Masjid. Ada pula surat pembaca di media massa mengungkapkan nasibnya yang perlu dana untuk operasi atau menyambung sekolah. Sementara di sisi lain kita melihat nama-nama president direktur, manager bank, pengusaha besar banyak yang memakai predikat “Haji”, “Muhammad”, “Abdul…”, dan nama-nama nabi.
Hal ini dapat diinterpretasikan seperti di atas, yaitu semakin menipisnya spirit pengorbanan dalam diri seorang muslim. Gejala ini, agaknya, timbul karena ambisi dunia (materi) yang berlebihan dan membesarkannya sampai melebihi skala normal.Di luar negeri, kita sering mendengar berita kelaparan dari saudara kita di belahan Afrika. Yang lebih seri/is lagi, perjuangan suci bangsa Afghanistan dan Palestina, yang setiap saat menantikan uluran tangan dari saudaranya seakidah. Padahal bukan tak banyak di antara umat ini yang memandang ribuan dolar itu hanya dengan “sebelah mata”. Akan tetapi, problem yang sebenarnya dihadapi bukanlah “minus dolar”, tetapi “krisis mental” lebih dominan, yang kemudian mengikis rasa ukhuwwah Islamiyah dan izzah bil-Islam (bangga akan keislaman).
Iri rasanya hati bila mendengar “orang luar” datang membawa obat dan gandum kepada pengungsi di Afghanistan.Juga membawa beras plus supermie ke daerah transmigran.Akankah kenyataan ini berlanjut terus?
3. Membudayakan Spirit Ibrahim
Bila kita sama-sama bertekad ingin memperbaharui kenyataan pahit ini, jalan ke arah itu masih terbentang luas dan kesempatan terbuka lebar. Ini bisa dimulai dengan menghayati ulang peristiwa Nabi Ibrahim serta membudayakan semangat untuk berkorban dari apa yang dimilikinya.
Marilah kita memandang dunia (materi) yang ada sesuai dengan skala normal.Kalau memungkinkan, memperkecilnya sampai ke titik terendah. Di sisi lain, mari kita memandang Allah sesuai dengan posisi-Nya: sebagai pencipta alam, pemberi rezeki, penguasa tunggal, dan sebagainya. Jenjang untuk sampai menemukan posisi Allah bisa ditempuh dengan proses tadabbur (perenungan) benda ciptaan-Nya, kekuasaan-Nya menciptakan sesuatu dari nol, dan menghilangkan yang telah ada. Seseorang yang mengerti betul nilai dunia yang sesungguhnya dan menemukan hakikat Allah SWT, tidaklah mustahil akan mampu berbuat seperti kualitas amal Ibrahim, atau paling tidak, mendekatinya.
http//www.requestartikel.com.htm
8-Mei-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar